Selasa, 21 Juni 2011

PUSTAKA TIPOLOGI LAHAN PASANG SURUT

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Survei Dan Pemetaan
            Penggunaan dan pemanfaatan sumber daya lahan yang optimal sesuai dengan daya dukungnya hanya dapat dilakukan dengan rancangan dan perencanaan yang tepat. Informasi dan data yang tersedia dalam pengembangan sumber daya lahan sangat mempengaruhi terhadap rancangan dan perencanaan yang tepat tersebut, tanpa adanya data dan informasi yang tersedia, rasanya sangat sulit untuk membuat suatu perencanaan yang baik karena tidak adanya landasan yang dipegang, sementara dalam penggunaan dan pemanfaatan sumber daya lahan yang optimal sesuai dengan daya dukungnya hanya dapat dilakukan dengan rancangan/perencanaan yang tepat. Data dan informasi sumberdaya lahan  tersebut dapat diperoleh melalui kegiatan survei dan pemetaan tanah atau sumberdaya lainnya antara lain pemetaan suatu lahan(Land Unit) atau sistem lahan (Land System) (Sitorus, 2001).
            Survei tanah dapat didefenisikan sebagai penelitian tanah di lapangan dan di laboratorium, yang dilakukan secara sistematis dengan metode-metode tertentu terhadap suatu daerah (areal) tertentu, yang ditunjang oleh informasi dari sumber-sumber relevan (SCSA, 1982), pengamatan yang dilakukan secara sistematis, disertai dengan mendeskripsikan, mengklasifikasikan dan memetakan tanah di suatu daerah tertentu, (Brady and Weil, 2002). (Lutfi Rayes, 2006). Sementara pemetaan adalah suatu kegiatan untuk menghasilkan tampilan informasi secara keruangan (spasial) serta peran peta adalah bentuk penyajian informasi spasial tentang permukaan bumi untuk dapat dipakai dalam pengambilan keputusan (Barus dan Wiradisastra, 2000). Suatu survei tanah akan menghasilkan informasi tentang tanah-tanah yang ada di wilayah survei, pengklasifikasian tanah-tanah yang bersangkutan berdasarkan suatu sistem klasifikasi tertentu, membatasi satuan peta tanah yang disajikan dalam bentuk peta pada suatu skala tertentu, dan melakukan pendugaan perilaku tanah-tanah tersebut ( Tatat Sutarman Abdullah, 1998).

2.2. Lahan Rawa Pasang Surut
            (Subagyo H, 2004) menyimpulkan bahwa lahan rawa pasang surut merupakan lahan peralihan antara daratan dan laut yang terletak di sepanjang pantai dan wilayah daerah aliran sungai bagian bawah khusunya wilayah di sekitar muara sungai-sungai besar, lahan peralihan antara daratan dan lautan disebut lahan lahan rawa pasang surut. Karena dekat laut, wilayah dipengaruhi oleh pasang surut harian air laut. Itu mencakup zonamangrove (bakau) atau zona pasang surut air asin/payau yang relatif sempit sekitar 1 – 5 km dari garis pantai yang secara dominan dipengaruhi oleh air asin dan air payau. Pada wilayah belakangnya bersambung dengan zona rawa pasang surut air tawar yang lebih ekstensif dan masih dipengaruhi gerakan pasang surut dan surut harian.
            Menurut (Sri Najiati et al, 2005) Rawa Pasang Surut adalah rawa yang genangan airnya terpengaruh oleh pasang surutnya air laut. Selanjutnya, rawa semacam ini dibedakan berdasarkan kekuatan air pasang dan kandungan garam didalam airnya (asin/payau atau tawar) serta jauhnya jangkauan luapan air. (Muhammad Noor, 2004) menambahkan bahwa rawa pasang surut adalah kawasan sepanjang pantai, aliran sungai, danau atau lebak yang menjorok masuk (intake) kepedalaman sampai sekitar 100 km atau sejauh dirasakannya pengaruh gerakan pasang. Jadi lahan rawa pasang surut dapat dikatakan sebagai lahan yang mendapat pengaruh pasang surut air laut atau sungai sekitarnya. Pada saat musim hujan lahan tergenang sampai satu meter, tetapi saat musim kemarau menjadi kering bahkan sebagian muka air tanah turun mencapai kedalaman lebih dari 50 cm dari permukaan tanah. Lahan pasang surut terletak di sepanjang pantai dan wilayah  daerah aliran sungai bagian bawah, khususnya wilayah di sekitar muara sungai-sungai besar (Subagyo H, 2004).

 2.3. Jenis Tanah dan Karakteristik Lahan Rawa Pasang Surut.
            Berdasarkan bahan penyusunnya tanah-tanah yang terdapat di lahan rawa pasang surut secara umum di bagi menjadi dua kelompok, yakni tanah mineral dan tanah gambut. Karena lahan rawa biasanya jenuh air, atau tergenang, maka lahan rawa dimasukkan sebagai lahan basah (wetlands) dan tanah-tanah penyusun disebut sebagai tanah basah (Wetsoil) (Subagyo H, 2004).
Menurut Muhammad Noor, (1996) lahan pasang surut dapat dibagi menjadi 5 (lima) satuan fisiografi lahan yaitu 1). Daerah Muara (mudflat), 2). Daerah pesisir (shore plain), 3). Daerah pematang (leeve), 4). Daerah belakang (backswam) dan 5). Daerah kubah (depresion). Pada lahan pasang surut proses pembentukan tanah didominasi oleh proses gleisasi dan pembentukan tanah gambut, oleh karena itu tanah yang terbentuk secara garis besar adalah tanah gambut (Histosol) dan tanah mineral non gambut (Entisol dan Inceptisol) dengan masing-masing memiliki sifat yang khas (Subagyo H dan Widjaja A, 1998). Hubungan antara satuan fisiografi dan jenis tanah dalam berbagai sistem nama disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1.Hubungan Satuan Fisiografi Dan Jenis Tanah Lahan Rawa Pasang Surut Dalam Berbagai Sistem Tata Nama.
Satuan Fisiografi
Jenis tanah
Soil Taxonomy USDA
(Sub Group)
Sistem FAO
Puslittanak Bogor
Daerah Muara (mudflat)
Hafic sulfic Hydraquent
Thionic Fluvisol
Gley Humus
Daerah Pesisir (shoreplan)
Hafic Sulfaquent
Thionic Fluvisol
Gley Humus
Daerah Pematang (levee)
Hafic Fluvaquent
Aquic Trofluent
Thionic Fluvisol
Gley Humus
Daerah Belakang (backswamps)
Typic Sulfaquent
(Histic Sulfic) Tropoquent
Thionic Fluvisol
Gley Humus
Daerah Kubah (depression)
Terric Sulfihemist
Terric Tropohemist
Terric Tropocaprist
Histosol
Histosol
Histosol
Gambut
Gambut
Gambut
Sumber : Muhammad Noor (1996)

2.3.1. Tanah Gambut
Tanah gambut dalam Taksonomi Tanah (Soil Survei Staff, 1999) disebut Histosol dan didefenisikan secara kuantitatif. Mengikuti defenisi tersebut maka Histosol harus terdiri dari bahan tanah organik, yaitu memenuhi salah satu persyaratan yaitu 1). Kandungan C-organik minimal 12%, apabila tidak mengandung fraksi liat (0%) atau 2). Kandungan C-organik minimal 18 %, apabia mengandung fraksi liat (60%) atau lebih atau 3). Jika kandungan fraksi liat antara 0 – 60 %, maka kandungan C-organik adalah 12% + (% kandungan liat dikalikan 0,1). Secara ringkas tanah gambut adalah tanah-tanah yang tersusun dari bahan tanah organik jenuh air, dengan ketebalan 50 cm atau lebih. Dikaitkan dengan ketebalan bahan organik maka tanah mineral yang mempunyai lapisan gambut di permukaan 20-50 cm disebut tanah (mineral) bergambut (peat soil). Dikatakan sebagai tanah mineral murni apabila lapisan gambut dipermukaan < 20 cm. Dalam klasifikasi tanah lama, tanah gambut disebut Organosol (Subagyo H, 2004). Berbagai sudut pandang, gambut diklasifikasikan atas tingkat kematangan, kedalaman, kesuburan dan posisi pembentukannya. Berdasarkan sifat kematangannya (ripeness)  gambut dapat dibedakan atas tiga (3) jenis yaitu 1). gambut Fibrik (mentah) adalah bahan tanah gabut yang masih tergolong  mentah yang dicirikan dengan tingginya kandungan bahan-bahan jaringan tanaman atau sisa-sisa tanaman yang masih dapat dilihat keadaan aslinya dengan ukuran beragam, dengan diameter antara 0,15 mm hingga 2,00 cm, 2). Gambut Hemik (setengah matang)  bahan tanah gambut yang sudah mengalami perombakan dan bersifat separuh matang, 3). Gambut Saprik (matang) adalah bahan tanah gambut yang sudah mengalami perombakan sangat lanjut dan bersifat matang hingga sangat matang, sedangkan berdasarkan ketebalan lapisan bahan organiknya gambut dipilah dalam empat (4) kategori yaitu 1). Gambut dangkal adalah lahan gambut yang mempunyai ketebalan lapisan bahan organik antara 50-100 cm. 2). Gambut tengahan adalah lahan gambut yang mempunyai ketebalan lapisan bahan organik antara 100-200 cm, 3). Gambut dalam adalah lahan gambut mempunyai ketebalan lapisan bahan organik antara 200-300 cm, 4). Gambut sangat dalam adalah gambut yang mempunyai ketebalan lapisan bahan organik >300 cm (Muhammad Noor, 2001). Karakteristik lahan gambut yang penting dalam pemanfaatannya untuk pertanian meliputi kadar air, berat isi (bulk density, BD), daya menahan beban (bearing capacity), subsiden (penurunan permukaan), dan mengering tak balik (irriversible drying) ketebalan gambut, lapisan bawah, dan kadar lengas gambut (Muhammad Noor, 2001).

2.3.2. Tanah Mineral
Tanah-tanah mineral di wilayah pasang surut terbentuk dari bahan endapan marin, yang proses pengendapannya dipengaruhi air laut, yaitu dalam lingkungan laut/marin. Pada wilayah agak ke pedalaman dimana pengaruh sungai relatif masih kuat, tanah bagian atas terbentuk dari endapan sungai. Sedangkan pada bagian bawah dimana terdapat bahan sulfidik (pirit), pengendapan lumpur bahan tanah terjadi terlebih dahulu, dan proses sedimentasinya lebih didominasi oleh aktifitas air laut, sehingga bahan pembentuk tanah disebut bahan endapan marine. Makin dekat ke laut, pengaruh sungai (besar) semakin kecil, sebaliknya pengaruh laut makin besar sehingga bahan pembentuk tanah lebih didominasi oleh bahan endapan marin (fluvio marin) (Widjaja, et al,1992). (Nugroho dan Siswanto, 2000) menjelaskan bahwa tanah mineral yang dijumpai di lahan pasang surut terbentuk dari bahan endapan liat dan pasir dalam suasana jenuh air (aquic condition), tanah-tanah terbentuk dari bahan aluvium dan aluvio marin, mempunyai lapisan bahan sulfidik atau pirit di bawah permukaan tanah. Tanah ini dicirikan oleh horison kambik yang di bawahnya berupa liat marin berwarna biru, tanah-tanah aluvial ini umumnya menempati landform aluvial, yang dicirikan oleh deposisi bahan fuivial yang cukup tebal.
          Tanah aluvial merupakan tanah yang berasal dari endapan laut (marine sediment), endapan sungai (fluviatil sediment) atau campuran (fluviatil-  marine sediment). Tanah aluvial yang berkembang dari bahan induk endapan marin biasanya dicirikan oleh adanya lapisan yang mengandung sulfida yang umumnya merupakan mineral pirit (FeS2) (Widjaja, et al, 1992). Lapisan sulfidik merupakan cerminan keadaan tanah yang sudah mengalami perkembangan sehingga layak dikelompokkan kedalam ordo Incepticol. Tanah-tanah yang mengandung bahan sulfidik disebut dengan tanah sulfat masam potensial yang termasuk kedalam kelompok (greatgroup) Sulfaquent dan jenis (subgroup) Sulfic Fluvaquent, Sulfic Hydraquent, Sulfihemist, serta Sulfic Haplaquent (Muhammad Noor, 2004). 

2.4. Keberadaan Pirit FeS2 di Lahan Pasang Surut.
       Menurut Subagyo H (2004), pirit adalah mineral berkristal oktahedral (sistem kubus) dari senyawa besi-sulfida (FeS2) yang terbentuk di dalam endapan marin kaya bahan organik, dalam lingkungan air laut/payau yang mengandung senyawa sulfat (SO4) larut. Pirit terbentuk dari reduksi sulfat yang diikuti oleh pembentukan besi-sulfida dari sulfur terlarut dengan besi (ferro). Besi sulfida (FeS) selanjutnya bereaksi dengan elemen sulfur menjadi FeS2 yang disebut pirit, dalam keadaan anaerob akan bersifat stabil, tetapi dalam keadaan aerob akan teroksidasi menghasilkan ion hidrogen (H+) dan ion sulfat (SO42-) serta oksidasi pirit ini akan menimbulkan kemasaman tanah hingga mencapai pH 2 – 3 yang mengakibatkan hampir tidak adanya tanaman budidaya yang dapat tumbuh baik, selain itu juga menyebabkan terjadinya karatan (corrosion) sehingga mempercepat kerusakan alat-alat pertanian dan mesin-mesin pertanian yang mengandung bahan logam (Muhammad Noor, 2001).
Akibat adanya saluran-saluran drainase pada lahan pasang surut, permukaan air tanah menjadi turun, dan tanah bagian atas menjadi kering dan terbuka. Akibat adanya oksigen di udara, maka tanah bagian atas mengalami oksidasi, sementara tanah bagian bawah masih tetap berada di lingkungan air tanah, yaitu tetap dalam kondisi tereduksi. Pirit yang terbentuk dalam suasana reduksi dalam endapan laut di dekat pantai dengan kandungan bahan organik tinggi, berasal dari vegetasi pantai seperti api-api dan bakau/mangrove. Dalam kondisi reduksi, pirit bersifat stabil sesuai dengan suasana lingkungan pembentukannya. Akibat penurunan air tanah, pirit yang berada di tanah bagian atas ikut terbuka (exposed) di lingkungan yang aerob, dan mengalami oksidasi, menghasilkan asam sulfat dan senyawa besi bebas bervalensi 3 (Fe-III). Hasil akhirnya merupakan tanah ber-reaksi masam ekstrim (pH <3,5), dan banyak mengandung ion-ion sulfat (SO4), besi bervalensi 2 (Fe II), dan aluminium (Al3+). Tanah ber-reaksi masam ekstrim yang banyak mengandung ion sulfat ini disebut tanah sulfat masam, atau Acid sulphate soils. Seringkali juga disebut tanah sulfat masam aktual, atau actual acid sulphate soils. Tanah marin yang mengandung pirit belum teroksidasi, mempunyai reaksi tanah agak masam (pH 4,6 - 5,5), tetapi berpotensi akan menjadi ekstrim masam bila mengalami drainase berlebihan, disebut tanah sulfat masam potensial, atau potential acid sulphate soils. Tanah bagian atas yang sudah teroksidasi, karena berwarna coklat, atau kelabu kecoklatan berkaratan besi coklat kemerahan, kadang disebut brown layer, sedangkan tanah bawah yang tereduksi penuh yang berwarna kelabu, kelabu gelap, atau kelabu kehijauan, sering disebut gray layer.
(Sudarsono, 1996) mengemukakan bahwa melalui drainase, pirit yang ada bisa teroksidasi, dan tanah menjadi tanah sulfat masam (Tipologi Lahan Bersulfida), oksida pirit (FeS2) bisa langsung menjadi SO42- dan Fe(OH)3
FeS2 + 3¾ O2 + 3½H2O------------>Fe(OH)3 + 2SO42- + 4H+
Namun, pada berbagai keadaan di mana terdapat K+ atau Na+ di dalam tanah maka oksida pirit akan membentuk jarosit atau natrojarosit
FeS2 + 3¾O2 + 2 ½H2O + 1/3K+----------->1/3KFe3(SO4)2(OH)6 + 4/3SO4 + 4H+
Lama kelamaan jarosit juga akan terhidrolisis membentuk oksida feri dan  kemasaman tambahan akan dilepaskan. Hasil reaksi tersebut dihasilkan ion H+ menyebabkan pH tanah turun drastis. Pada tanah-tanah sulfat masam biasanya pH tanah turun menjadi < 3,5 bila tidak ada bahan lain yang dapat menetralkannya.
 
2.5. Tipologi dan Tipe Luapan Pada Lahan Rawa Pasang Surut.
2.5.1. Tipologi Lahan Pasang Surut
            Penggunaan klasifikasi tanah murni seperti Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff 1999) dalam membedakan ”tanah berpirit dangkal belum teroksidasi” (Typic Sulfaquensts) dengan ”tanah berpirit dangaka sudah teroksidasi” (Aeric Sulfaquents), dirasakan terlampau sulit untuk para praktisi yang menangani pengelolaan tanah di lahan pasang surut, untuk itu telah di buat klasifikasi agronomis yang disebut Tipologi Lahan. Untuk tanah-tanah mineral didasarkan pada kondisi lapisan bahan sulfidik/pirit dan letak kedalamannya, disamping ada tidaknya pegaruh air asin. Untuk tanah gambut digunakan kriteria ketebalan gambut dan kondisi lapisan bahan sulfidik/pirit . Klasifikasi tipologi lahan jauh lebih sederhana dan mudah dipahami, serta secara langsung dapat digunakan, baik oleh pakar pertanian yang kurang/tidak memahami disiplin ilmu tanah maupun penyuluh Subagyo (2004).
Pembagian lahan rawa pasang surut ke dalam tipologi lahan oleh Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian bukanlah merupakan suatu klasifikasi tanah, tetapi semata-mata untuk memudahkan dalam pengenalan secara dini tentang kendala yang dihadapi pada masing-masing tipologi lahan (Subagyo H dan Widjaja A, 1998)
            Tanah-tanah pada lahan pasang surut merupakan tanah basah yang bahan induk asalnya endapan laut/marin yang secara unik dicirikan oleh adanya mineral pirit. Tanah mineral yang terbentuk antara lain Sulfat Masam Potensial yang lapisan piritnya belum teroksidasi dan tanah Sulfat Masam Aktual yang lapisan piritnya sudah teroksidasi, sedangkan pada tanah-tanah gambut penciri utama adalah ketebalan gambut dan tingkat dekomposisi bahan gambut akan tetapi tanah gambut mungkin juga mengandung lapisan pirit sehingga kriteria pirit untuk tanah mineral berlaku juga untuk tanah gambut.
Reklamasi lahan rawa pasang surut selalu diawali dengan pembuatan saluran-saluran primer, sekunder dan tersier, yang dimaksudkan untuk mendrainase atau mengeringkan seluruh kawasan reklamasi  tersebut, permukaan air tanah menjadi turun, dan tanah terbebas dari kondisi jenuh air, dan setelah beberapa waktu mencapai kondisi siap pakai sebagai lahan pertanian.
            Sistem klasifikasi tipologi lahan yang di kembangkan Widjaja Adhi 1995  untuk berbagai kondisi tanah-tanah rawa, yang mana penyusunannya didasarkan pada sifat-sifat atau karakteristik tanah yang berpengaruh langsung terhadap produkksi pertanian seperti kedalaman lapisan pirit, kemasaman tanah, pengaruh garam, pengaruh pasang surut dan ketebalan gambut, (Subagyo H, 2004) menambahkan untuk tanah mineral didasarkan pada kondisi lapisan bahan sulfidik/pirit dan letak kedalamannya disamping ada tidaknya pengaruh air salin.
            Klasifikasi penting dalam usaha untuk mengerti dan mengelola sumber daya lahan, karena klasifikasi dapat menciptakan keteraturan dari data yang di interpretasikan serta mengurangi jumlah menjadi lebih kecil dari jumlah total objek melalui pembentukan kelas-kelas. Klasifikasi lahan rawa pasang surut menurut tipologi lahannya disajikan pada Tabel 2 sebagai berikut.
Tipologi lahan salin mempunyai kendala salinitas tinggi yang menghambat pertumbuhan tanaman. Tipologi lahan bersulfat mempunyai kendala adanya sulfat, sedangkan tipologi lahan bersulfida mempunyai kendala potensi sulfat. Tipologi lahan gambut mempunyai kendala umumnya kesuburan tanah dan asam-asam organik, (Sudarsono, 2000).
Pada pengelolaan petakan lahan di petani, terdapat bagian-bagian lahan yang rendah, yang selalu basah terkena pasang harian, Sebaliknya ada bagian-bagian lahan yang relatif kering, tidak pernah terendam walaupun oleh air pasang besar namun air relatif dangkal <1m. Kenyataan ini menunjukkan bahwa berdasarkan hidrotopogafi terdapat bagian-bagian lahan yang menerima genangan atau luapan yang berbeda, sesuai dengan letak ketinggiannya. Berdasarkan kuat tidaknya pengaruh pasang surut harian serta kedalaman air tanah yang digunakan sebagai dasar dari penataan lahan terutaman untuk manajemen tata air maka di perlukan klasifikasi tipe luapannya. 

2.5.2 Tipe Luapan pada Lahan Pasang Surut
            Lahan rawa pasang surut berada di dataran pantai dengan ketinggian tempat yang rendah sekitar 0 – 5 meter diatas permukaan laut, dengan  bentuk wilayah yang relatif rata. Wilayah lahan rawa dibanjiri oleh  pasang surut harian, termasuk pasang besar (spring tide)  dan pasang kecil (neap tide) siklus arus pasang, yang mengakibatkan terjadinya arus pasang ke arah pedalaman/hulu sungai  dan aliran surut kearah muara sungai/laut dapat terjadi satu kali sehari (diurnal), atau dua kali sehari (semi urnal) (Subagyo H, 2004). Kenyataan ini menunjukkan bahwa berdasarkan hidrotopogafi terdapat bagian-bagian lahan yang menerima genangan atau luapan yang berbeda, sesuai dengan letak ketinggiannya.
Berdasarkan kuat tidaknya pengaruh pasang surut harian serta kedalaman air tanah yang digunakan sebagai dasar dari penataan lahan terutaman untuk manajemen tata air, maka di perlukan klasifiakasi tipe luapan. Kriteria pembagian tipe luapan lahan rawa pasang surut dibedakan menjadi empat tipe luapan yaitu : tipe luapan A, B, C dan D (Subagyo, 2004), (Lampiran 1).
Pada kondisi tipe luapan A, salinitas tanah erat hubungannya dengan kandungan garam natrium akibat adanya intrusi air laut yang biasanya terjadi pada musim kering. Semakin jauh lahan dari pengaruh pasang surut air laut secara langsung, kadar salinitas semakin berkurang. Salinitas juga akan semakin berkurang pada musim hujan dan semakin meningkat pada musim kering. Kerusakan tanaman akibat salinitas tinggi berhubungan dengan sifat osmotik larutan tanah. Salinitas yang tinggi pada zone perakaran tanaman akan menghambat pergerakan air dan unsur hara yang terlarut di dalamnya. Bahkan air yang berada di dalam sel tanman akan tersedot ke luar sehingga tanaman menjadi kering (Widjaja Adhi et all, 2000)

2.6  Kesuburan Tanah Rawa Pasang Surut
        Pada prinsipnya pertumbuhan vegetasi ditentukan oleh tanah khususnya dalam hal penyediaan air dan hara, disamping itu tanah juga harus menciptakan lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan/perkembangan akar, hara di dalam tanah dalam bentuk tersedia terdapat dalam koloid mineral dan organik, disamping sebagai bahan yang tidak larut/tidak tersedia bagi vegetasi. Hara tersedia merupakan hasil proses pelapukan/penguraian mineral  dan dekomposisi bahan organik (Azwar Maas, 2004). 
       Dalam tanah endapan laut biasanya terbentuk lapisan yang mengandung pirit, (Widjaya Adhi, et al, 1992). Kandungan pirit di dalam tanah, hanya sekitar 0-5 %, namun walaupun sedikit merupakan permasalahan utama dalam pemanfaatan lahan pasang surut untuk pertanian (Subagyo et al, 1998). Dalam keadaan tergenang, pirit tidak berbahaya bagi tanaman. Drainase yang menurunkan muka air tanah di bawah lapisan pirit membuat lingkungan aerob bagi senyawa pirit. Pirit mengalami oksidasi dan melepas asam sulfat dan oksida besi. (Widjaya Adhi et al, 1992). Apabila reaksi berjalan cepat, juga terbentuk mineral jarosit yang nampak sebagai bercak-bercak karatan berwarna kuning jerami. Demikian seriusnya permasalahan agronomis yang timbul akibat oksida pirit, sehingga apabila senyawa yang bersifat toksik tersebut tidak dapat terbuang dari lingkungan perakaran, maka pertumbuhan tanaman yang normal sulit sekali diharapkan. (Subagyo et al, 1998). Akibat penggenangan selama musim hujan, terjadi peningkatan pH tanah, dan penurunan konsentrasi Al. Naun, kemungkinan dapat terjadi keracunan ion Fe-III, dan Mn karena konsentrasinya yang sangat tinggi dalam larutan tanah. Kemungkinan juga terjadi keracunan H2S, dan pencucuian unsure basa Ca dan Mg yang berakibat menurunkan kesuburan alami tanah rawa (Subagyo H, 2006). Kerusakan tanaman akibat salinitas tinggi berhubungan dengan sifat osmotik larutan tanah. Salinitas yang tinggi pada zone perakaran tanaman akan menghambat pergerakan air dan unsur hara yang terlarut di dalamnya. Bahkan air yang berada di dalam sel tanman akan tersedot ke luar sehingga tanaman menjadi kering (Widjaja Adhi et all, 2000)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar