V. HASIL
DAN PEMBAHASAN
5.1. Karakteristik Pembentuk Tipologi
Lahan
Berikut ini merupakan penjabaran dari
karakteristik pembentuk tipologi lahan (ketebalan gambut, kedalaman pirit dan
tipe luapan) pada daerah penelitian.
5.1.1. Ketebalan Gambut
Hasil
survei di lapangan menunjukkan adanya perbedaan ketebalan gambut pada daerah
penelitian, dalam penelitian ini ketebalan gambut dikelompokkan kedalam
ketebalan 0-25 cm, 25-50 cm , 50-75 cm
serta 75-100 cm sepeti pada Tabel 5.
Tabel 5. Ketebalan Gambut Daerah Penelitian
No
|
Ketebalan gambut (cm)
|
Luas (Ha)
|
1
|
0 – 25
|
2058
|
2
|
25 – 50
|
225
|
3
|
50 - 75
|
110
|
4
|
75-100
|
64
|
Jumlah
|
2457
|
Sumber : hasil
olahan 2011
Berdasarkan hasil survei
lapangan, pada daerah penelitian ketebalan gambut didominasi dengan ketebalan
0-25 cm dengan luasan 2058 Ha berada pada posisi terdekat dari bibir
pantai, ketebalan 25-50 cm dengan luasan 225 Ha, ketebalan 50
-75 cm dengan luasan 110 Ha serta ketebalan 75 – 100 cm
dengan luasan 64 Ha. Untuk sebaran ketebalan gambut secara spasial dapat
dilihat pada lampiran 13 (Peta Kedalaman Gambut).
Perbedaan
ketebalan gambut menunjukkan terjadinya penurunan ketebalan gambut. Penurunan
ketebalan gambut ini dipengaruhi oleh pengelolaan lahan yang tidak tepat
seperti pembuatan jaringan drainase serta proses pengolahan lahan yang tidak
tepat (pembakaran lahan dan penataan tinggi muka air yang tidak tepat) yang
mengakibatkan proses penyusutan yang sangat cepat sehingga ketebalan gambut
menjadi semakin tipis.
(Fahmuddin Agus dan I.G Made
Subiksa, 2008), Volume gambut akan menyusut bila lahan gambut di drainase,
sehingga terjadi penurunan permukaan
tanah (subsiden), selain karena penyusutan volume, subsiden juga terjadi karena adanya
proses dekomposisi dan erosi. Dalam 2 tahun
pertama setelah lahan gambut di drainase, laju subsiden bisa mencapai 50
cm.
5.1.2. Kedalaman Pirit
Hasil survei di lapangan pada
daerah penelitian, kedalaman pirit cukup bervariasi, yang dikelompokkan mulai
dari 0-25 cm, 25-50 cm, 50-75 cm serta 75-100 cm seperti pada tabel 6 .
Tabel 6. Kedalaman Pirit Daerah Penelitian
No
|
Kedalaman Pirit (cm)
|
Luas (Ha)
|
|
1
|
0 - 25
|
1292
|
|
2
|
25 – 50
|
991
|
|
3
|
50 – 75
|
110
|
|
4
|
75-100
|
64
|
|
Jumlah
|
2457
|
||
Sumber : Hasil Olahan 2011
Kedalaman pirit yang paling
mendominasi daerah penelitian ini berada pada kedalaman 0-25 cm
dengan luasan 1292 Ha, lahan tersebut merupakan lahan yang telah
dikelola oleh petani setempat sebagai lahan pertanian. Pada kedalaman
25-50 cm dengan luasan 991 Ha juga merupakan bagian lahan
pertanian yg sudah di kelola oleh masyarakat. Pada kedalaman pirit 50-75
cm dengan luasan lahan 110 cm, lahan tersebut belum
dikelola oleh msyarakat setempat dan begitu juga dengan kedalaman 75-100
cm dengan luasan 64 Ha. Sebaran secara spasial kedalaman
pirit pada daerah penelitian dapat dilihat pada lampiran 14 (Peta Kedalaman
Pirit).
Terjadinya perbedaan kedalaman
pirit pada deaerah penelitian ini di karenakan adanya membuatan jaringan
irigasi sehingga terjadi pengeringan lahan serta pengolahan lahan yang
mengakibatkan teroksidasinya pirit yang mengakibatkan rendahnya pH tanah
sehingga berbahaya untuk pertumbuhan tanaman.
Tanah-tanah marin yang sudah
dibuka untuk pertanian dan pemukiman telah mengalami pengeringan atau drainase
berlebihan, biasanya sudah matang (ripe). Apabila pH-nya sangat masam sekali (pH <3,5) dan banyak
mengandung ion Sulfat Masam Aktual, (Subagyo H dan Widjaja Adhi, 1998).
Subagyo H (2004), apabila lahan pasang surut direklamasi, yaitu dengan
dibuatnya jaringan tata air makro berupa saluran-saluran primer,sekunder sampai
tersier, lahan mengalami pengeringan, air tanah menjadi turun, maka lingkungan
pirit menjadi terbuka (exposed) dan pirit menjadi tidak stabil karena bereaksi
dengan udara.
5.1.3. Tipe Luapan
Tipe
luapan ini dibuat berdasarkan informasi petani dan petugas setempat serta
pengukuran tinggi muka air saat survai. Pada daerah penelitian mempunyai 3
tipe luapan dengan sebaran tipe luapan secara spasial dapat dilihat pada
lampiran 15 (Peta Tipe Luapan). Luasan lahan dengan tipe luapannya dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Tipe Luapan Daerah Penelitian
No
|
Tipe Luapan
|
Luas (Ha)
|
1
|
A
|
1017
|
2
|
B
|
732
|
3
|
C
|
708
|
Jumlah
|
2457
|
Sumber : Hasil Olahan 2011
Tipe luapan A merupakan lahan rawa pasang surut
yang relatif tergenang serta dipengaruhi oleh pasang surut harian dan selalu
terluapi oleh pasang kecil maupun pasang besar. Pada daerah penelitian luas
lahan dengan tipe luapan A seluas 1017 dan air pasang berpengaruh
melalui aliran permukaan tanah dan lahan denga tipe luapan A ini dilalui oleh
parit-parit (Parit 1,2,3,4,5,6 kanan dan kiri) yang menghubungkan lahan denga
bibir pantai, sedangkan lahan dengan tipe luapan B merupakan daerah lahan yang
tergenang dan berada pada bagian yang agak tinggi yang mana airnya dipengaruhi
oleh pasang surut harian dan hanya terluapi oleh pasang besar. Hasil survei di
lapangan diperoleh lahan dengan tipe luapan B dengan luas 732 Ha.
Tipe luapan C merupakan lahan
rawa pasang surut yang tidak terluapi pasang kecil maupun pasang besar, namun
saat pengamatan di lapangan lahan dengan tipe luapan C ini dalam keadaan
tergenang. Tinggi muka air berada pada kedalaman < 50 cm yang sumber airnya
lebih mengandalakan air hujan dengan luas
708 Ha.
5.2. Karakteristik Tipologi Lahan daerah
Penelitian
Berdasalkan hasil identifikasi kedalaman
pirit dan ketebalan gambut di lapangan, daerah penelitian dapat dibagi menjadi
5 (Lima) karakter tipologi lahan yaitu : (1) Alluvial Bersulfida Dangkal
Bergambut (G-0-a), (2) Alluvial Bersulfida Dangkal Bergambut (G-0-b),
(3) Gambut Dangkal (G-1), (4) Alluvial Bersulfat-1 (SMA-1-a)
dan (5) Alluvial Bersulfat-1 (SMA-1-b). Hasil identifikasi secara
rinci terlihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Luasan dan Tipologi Lahan Daerah
Penelitian
No
|
Tipologi lahan
|
Luas
|
|
Ha
|
%
|
||
1
|
Alluvial Bersulfida Dangkal Bergambut (G-0-a)
|
163
|
5,25
|
2
|
Alluvial Bersulfida Dangkal Bergambut (G-0-b)
|
181
|
5,83
|
3
|
Gambut Dangkal (G-1)
|
169
|
5,45
|
4
|
Alluvial Bersulfat-1 (SMA-1-a)
|
1833
|
59,07
|
5
|
Alluvial Bersulfat-1 (SMA-1-b)
|
111
|
3,58
|
Total
|
2457
|
100
|
Sumber : Hasil Olahan 2011
Dari hasil pengolahan data
lapangan, tipologi lahan Alluvial Bersulfat-1 (SMA-1- a) merupakan
tipologi lahan terluas yaitu sekitar 1833 Ha (59,07 %), dan yang terluas
kedua adalah tipologi lahan Alluvial Bersulfida Dangkal Bergambut (G-0-b)
dengan luas 181 Ha (5,83 %), terluas ke tiga dengan tipologi Gambut
Dangkal (G-1), dengan luas 169 Ha (5.45%), ke empat Alluvial
Bersulfida Dangkal Bergambut (G-0-a) dengan luas 163 Ha (5,25 %),
diikuti oleh tipologi lahan terkecil Alluvial Bersulfat-1 (SMA-1-b),
dengan luas 111 Ha (3,58 %). Sebaran tipologi lahan secara spasial dapat dilihat pada lampiran 16 (Peta
Tipologi Lahan). Deskripsi
masing-masing tipologi lahan dapat dijelaskan sebagai berikut :
5.2.1.Alluvial Bersulfida Dangkal
Bergambut (G-0-a)
Lahan Alluvial Bersulfida Dangkal
Bergambut (G-0-a) pada lahan penelitian ini berupa lahan mineral yang mana
diatasnya terdapat lapisan gambut dengan tingkat dekomposisis gambut Saprik
dengan kedalaman rata-rata < 50 cm serta mengandung lapisan sulfidik pada
kedalaman 0-35 cm dari permukaan tanah dan ber-drainase agak terhambat. Pada
daerah penelitian, lahan alluvial bersulfida dangkal bergambut (G-0-a) yang berada pada rawa belakang (back
swamp) pada lahan dengan tipe luapan C
dengan kedalaman efektif 39 cm, tetapi keadaan lahan ini selalu dalam keadaan
tergenang dengan pertumbuhan tanaman yang didominasi oleh pohon-pohon besar dan
kecil dan belum dikelola masyarakat untuk lahan pertanian dan masih mempunyai
potensi untuk di kembangkan menjadi lahan pertanian.
5.2.2.Alluvial Bersulfida Dangkal
Bergambut (G-0-b)
Lahan
Alluvial Bersulfida Dangkal Bergambut (G-0-b) adalah lahan berupa
tanah mineral yang mengandung bahan sulfidik pada kedalaman 35-50 cm dari
permukaan tanah dengan kedalaman gambut rata-rata < 50 cm, dan kadang
memiliki lapisan bahan organik yang tipis. Pada daerah penelitian, lahan ini
ditemukan pada daerah rawa belakang dengan tipe luapan C dengan pertumbuhan
tanaman didominasi oleh pepohonan dan semak serta masih sedikit di kelola
masyarakat dan masih berpotensi untuk di kembangkan menjadi lahn pertanian.
5.2.3.Gambut Dangkal (G-1)
Lahan Gambut Dangkal (G-1) berupa
lahan gambut yang mempunyai ketebalan gambut kurang dari 100 cm dari permukaan
tanah dengan tingkat dekomposisisi saprik dengan mengandung bahan sulfidik pada
50-100 m. Lahan gambut dangkal (G-1) pada daerah peneitian ini ditemukan
pada lahan dengan tipe luapan C di jumpai di rawa belakang (back swamp).
Pertumbuhan tanaman, pepohonan, baik besar maupun kecil. Pada lahan ini cukub
baik pertumbuhan tumbuhan dan belum di kelola masyarakat sebagai lahan
pertanian dan di dominasi oleh semak, rumput rawa dan pepohonan.
5.2.4.Alluvial Bersulfat-1 (SMA-1-a)
Lahan Alluvial Bersulfat-1 (SMA-1-a)
pada penelitian ini merupakan tanah-tanah mineral yang mempunyai ketebalan
lapisan sulfidik 0 – 35 cm dari
permukaan tanah yang sudah mengalami oksidasi. Di daerah penelitian lahan ini ditemukan pada tipe
luapan A, B dan C. Pertumbuhan tanaman
yang dijumpai pada tipologi lahan ini dalam keadaan kurang baik. (Muhammad
Noor, 2004) mengemukakan, bahan sulfidik (pirit) merupakan hasil endapan
marin yang terbentuk melalui serangkaian proses kimia, geokimia dan biokimia
secara bertahap, dimana ion-ion sulfat yang banyak terkandung dalam air laut
oleh ayunan pasang diendapkan pada dataran-dataran pantai dan sebagian menjorok
memasuki minakat pasang surut, Namun tidak menutup kemungkinan terbentuknya
lahan tersebut disebabkan pengolahan lahan yang salah akibat proses penggalian
dan penimbunan dalam pembuatan parit atau saluran drainase. Tanaman yang
mendominasi lahan ini merupakan tanaman nipah dan pepohonan kelapa dan kelapa
sawit serta semak belukar dan rumput rawa.
5.2.5.Alluvial Bersulfat-1 (SMA-1-b)
Pada penelitian ini tipologi lahan Lahan
Alluvial Bersulfat-1 (SMA-1-b) merupakan tanah-tanah mineral yang mempunyai
ketebalan lapisan sulfidik 35 – 50 cm
dari permukaan tanah. Berdasarkan informasi di lapangan pada kawasan ini masih
mendapat pangaruh intrusi air laut yang diduga tanahnya masih berupa endapan
marin akibat pengaruh pasang surut air laut dalam periode yang panjang.
mempunyai horison sulfurik atau tanda-tanda horison sulfurik yang disebabkan
teroksidasinya pirit, yang terjadi akibat drainase berlebihan.
Di daerah penelitian lahan ini
ditemukan pada lahan dengan tipe luapan
A dan tipe luapan C dengan pertumbuhan tanaman yang dijumpai pada tipologi
lahan ini dalam keadaan kurang baik.
Tamanam pertanian yang mendominasi pada lahan ini adalah tanaman kelapa, coklat
dan pinang.
5.3. Satuan Lahan Homogen
SLH (satuan lahan homogen) merupakan hasil Overlay Peta Tipologi Lahan
dengan Peta Tipe Luapan. Dari hasil
overlay kedua peta tersebut pada daerah penelitian diperoleh 8 SLH. Informasi
Luas, Jumlah Boring dari tiap SLH terlihat pada Tabel 9. Sebaran Satuan Lahan
Homogen secara spasial dapat dilihat pada lampiran 17 (Peta Satuan Lahan
Homogen).
Tabel 9. Informasi Tipologi Lahan, Tipe
Luapan, SLH, Luas Serta Jumlah Boring.
No
|
Tipologi Lahan
|
Tipe Luapan
|
Nama SLH
|
No SLH
|
Luas (Ha)*
|
Jumlah boring
|
1
|
Alluvial Bersulvida Dangkal Bergambut (G-0-a)
|
C
|
Alufial Bersulfida Dangkal Bergambut
(G-0-a) /C
|
6
|
151
|
6
|
2
|
Alluvial Bersulvida Dangkal
Bergambut (G-0-b)
|
C
|
Alufial Bersulfida Dangkal Bergambut
(G-0-b)/C
|
7
|
182
|
6
|
3
|
Gambur Dangkal
(G-1)
|
C
|
Gambut Dangkal
(G-1)/C
|
8
|
169
|
7
|
4
|
Alluvial Bersulfat-1
(SMA-1-a)
|
A
|
Alluvial Bersulfat 1
(SMA-1-a)/A
|
1
|
875
|
35
|
B
|
Alluvial Bersulfat-1 (SMA-1-a)/B
|
3
|
733
|
29
|
||
C
|
Alluvial Bersulfat-1
(SMA-1-a)/C
|
5
|
216
|
8
|
||
5
|
Alluvial Bersulfat-1
(SMA-1-b)
|
A
|
Alluvial Bersulfat-1
(SMA-1-b)/ A
|
2
|
79
|
4
|
C
|
Alluvial Bersulfat-1
(SMA-1-b)/ C
|
4
|
52
|
1
|
||
Total
|
8
|
2457
|
96
|
Sumber : Hasil
Olahan 2011 * Luas SLH
5.4. Analisis
Kimia Tanah Daerah Penelitian
Analisis kimia tanah di
laboratorium diwakili oleh sampel tanah komposit dari setiap SLH. Karakteristik dari masing-masing sifat
kimia tanah dapat dideskripsikan sebagai berikut :
5.4.1. Kemasaman Tanah, KTK, C-Organik.
Data hasil analisa Kemasaman Tanah, KTK,
C-Organik di laboratorium dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Kemasaman Tanah, KTK, C-Organik
SLH
|
SATUAN LAHAN HOMOGEN
|
pH
|
KTK
(me/100g)
|
C-Organik
(%)
|
1
|
Alluvial Bersulfat
1(SMA-1-a)/A
|
4,48 M
|
40,89 ST
|
29,04 ST
|
2
|
Alluvial Bersulfat-1
(SMA-1-b)/ A
|
4,70 M
|
32,79 T
|
13,57 ST
|
3
|
Alluvial Bersulfat-1
1(SMA-1-a)/B
|
5,29 M
|
15,32 S
|
9,25 ST
|
4
|
Alluvial Bersulfat-1
(SMA-1-b)/ C
|
4,85 M
|
20,94 S
|
11,70 ST
|
5
|
Alluvial Bersulfat-1
(SMA-1-a)/C
|
4,74 M
|
16,86 R
|
11,95 ST
|
6
|
Alufial Bersulfida Dangkal
Bergambut (G-0-a) /C
|
4,72 M
|
27,36 T
|
10,79 ST
|
7
|
Alufial Bersulfida Dangkal
Bergambut (G-0-b)/C
|
5,07 M
|
25,07 T
|
36,73 ST
|
8
|
Gambut Dangkal
(G-1)/C
|
4,62 M
|
18,12 S
|
50,55 ST
|
Sumber : Hasil
olahan 2011
Ket : M = Masam ST = Sangat
Tinggi T = Tinggi
R =
Rendah S =
Sedang
5.4.1.1. Kemasaman Tanah (pH)
Tingkat kemasaman (pH) tanah
pada daerah penelitian tergolong sangat rendah (kemasaman tinggi) yakni
pada SLH 1 (4,48), SLH 2
(4,70), SLH 3 (5,29), SLH 5 (4,74), SLH 6 (4,72), SLH
7 (5,07), SLH 8 (4,62). Kemasaman tanah yang tinggi pada daerah
penelitian diduga disebabkan oleh adanya oksidasi pirit akibat pembuatan
saluran drainase (parit-parit) yang membelah lahan penelitian. Oksidasi pirit
yang terjadi karena adanya penyusupan udara yang mengandung oksigen ke lapisan
bawah tanah yang mengandung sulfidik.
(Muhammad Noor, 2004)
menyatakan hal yang sama bahwa pH tanah menurun apabila diikuti proses
oksidasi. Hal ini juga sebagian besar disebabkan oleh pengaruh drainase dan
keadaan lokasi penelitian yang lebih sering tergenang. (Subagyo H, 2006) dalam
kondisi tergenang, redoks potensial tanah menjadi lebih tinggi , dan pH tanah
meningkat kembali, yang mengakibatkan konsentrasi ion H dan Al dalam lauran
tanah menurun, atau kurang bersifat toksik, tetapi masalah-masalah baru muncul.
5.4.1.2. Kapasitas Tukar Kation (KTK)
Berdasarkan hasil analisa
laboratorium, nilai KTK pada daerah penelitian sangat bervariasi mulai dari rendah yakni pada SLH 5 (16,86 me/100g), sedang
pada SLH 3 (15,32), SLH 4 (20,94 me/100g)dan SLH 8 (18,12
me/100g). KTK yg tinggi pada SLH
2 (32,79 me/100g), SLH 6 (27,36 me/100g) dan SLH 7 (25,07
me/100g) serta sangat tinggi
pada SLH 1 (40,89 me/100g).
Pada daerah penelitian
ini, tanah-tanah bergambut ( SLH 6 dan 7) memunyai KTK tinggi tetapi rendah
dalam kejenuhan basa. Pada lahan penelitian ini, faktor tinggi tendah nya KTK
sebagian besar dipengaruhi oleh sifat kemasaman tanah dan intrusi garam yang
dapat meningkatkan KTK. (Fahmuddin
Agus dan I.G Made Subiksa, 2008) Muatan negatif (yang menentukan KTK)
pada tanah gambut seluruhnya adalah muatan tergantung pH (pH dependent
charge), dimana KTK akan naik bila pH gambut ditingkatkan.
5.4.1.3.
C-Organik
Nilai kandungan C-Organik
pada daerah penelitian sangat tinggi
(9,25 % - 50,55 %) yaitu pada SLH 1 sampai dengan SLH 8. Tingginya kandungan
C-Organik pada daerah penelitian ini diduga disebabkan oleh vegetasi yang
mendominasi lahan dengan sisitem pengairan yang selalu dalam keadaan tergenang
sehingga terjadi penumpukan bahan organik yang tidak terlapuk.
Penimbunan bahan organik
yang tinggi ini merupakan hasil produksi
mangrove (termasuk semak dan rumput rawa) yang terbentuk akibat pengaruh luapan
pasang dengan periode yang panjang dan
didukung oleh curah hujan yang tinggi, pengatusan yang jelek dan topografi yang
cekung, (Muhammad Noor, 2004).
5.4.2.
Kandungan N-Total, P2O5 tersedia, dan K2O
Potensial.
Dari
hasil analisis laboratorium untuk Kandungan N-Total, P2O5
tersedia, dan K2O Potensial pada lahan penelitian disajikan pada
Tabel 11.
Tabel 11. Kandungan
N-Total, P2O5 tersedia, dan K2O Potensial pada
daerah penelitia.
SLH
|
SATUAN LAHAN HOMOGEN
|
N-Total
(%)
|
P2O5
(ppm)
|
K2O
(mg/100g)
|
1
|
Alluvial Bersulfat
1(SMA-1-a)/A
|
0,27 R
|
28,23 T
|
0,40 SR
|
2
|
Alluvial Bersulfat-1
(SMA-1-b)/ A
|
0,22 R
|
21,57 S
|
0,04 SR
|
3
|
Alluvial Bersulfat-1
1(SMA-1-a)/B
|
0,13 R
|
14,55 R
|
0,08 SR
|
4
|
Alluvial Bersulfat-1
(SMA-1-b)/ C
|
0,10 R
|
35,22 ST
|
0.63 SR
|
5
|
Alluvial Bersulfat-1
(SMA-1-a)/C
|
0,15 R
|
25,02 S
|
0,03SR
|
6
|
Alufial Bersulfida Dangkal
Bergambut (G-0-a) /C
|
0,15 R
|
36,46 ST
|
0,21 SR
|
7
|
Alufial Bersulfida Dangkal
Bergambut (G-0-b)/C
|
0,21 R
|
24,65 S
|
1,32 SR
|
8
|
Gambut Dangkal
(G-1)/C
|
0,17 R
|
22,82 S
|
0,08 SR
|
Sumber : Hasil
olahan 2011
Ket : SR = Sangat Rendah ST = Sangat Tinggi T
= Tinggi
R =
Rendah S =
Sedang
5.4.2.1. Kandungan N-Total
Kandungan N total pada tanah tersebut
tidak menjamin ketersediaan Nitrogen yang cukup bagi tanaman karena umumnya
nitrogen terikat sebagai senyawa organik komplek yang membentuk humus. Nilai kandungan N-Total tergolong rendah
pada semua SLH, yaitu SLH 1 (0,27%), SLH 2 (0,22%), SLH 3
(0,13%), SLH 4 (0,10%), SLH 5 (0,15%), SLH 6 (0,15%), SLH
7 (0,21%), SLH 8 (0,17%). Berdasarkan tabel nilai kandungan N-Total
yang kelihatan mencolok ada pada 3 SLH yaitu : SLH 1, SLH 2, SLH 7. Sesuai
dengan pengamatan di lapangan pada umumnya lahan ini di gunakan oleh penduduk
setempat sebagai lahan untuk tanaman kelapa, dan lahan tersebut lebih sering
tergenang yang mengakibatkan rendahnya kandungan N pada tanah.
Sarwono
Hardhowigeno (207), mengemukakan bahwa hilangnya N dari tanah karena digunakan
oleh tanaman dan mudah dicuci oleh air hujan dan terjadi Denitrifikasi oleh
karena tempat tergenang dan drainase buruk.
5.4.2.2. P2O5
tersedia
Nilai kandungan P2O5
pada daerah penelitian bervariasi antara
sangat tinggi, tinggi, sedang dan rendah. Kandungan P2O5
tergolong sangat tinggi pada lahan penelitian terdapat pada SLH 4 (35,22
ppm), dan SLH 6 (36,46 ppm)
sedangkan yang tergolong tinggi terdapat pada SLH 1 (28,23 ppm), dan yang tergolong sedang
terdapat pada SLH 2 (21,57 ppm), SLH
5 (25,02 ppm), SLH 7 (24,65 ppm),
SLH 8 (22,82 ppm). Untuk kandungan P2O5 yang
tergolong rendah terdapat pada SLH
3 (14,55 ppm).
Nilai kandungan P2O5
yang bervariasi pada lahan penelitian diduga di sebabkan oleh rendahnya bahan
pembentuk tanah serta rendahnya pH (kemasaman kinggi). Juga diduga terjadi
pengangkutan unsur P oleh tanaman yang diusahakan secara intensif dan tanpa
dilakukan pemupukan P yang tepat. (Muhammad Noor, 2004) menyatakan bahwa pada
tanah sulfat masam unsur P dari P2O5 akan diikat kuat
oleh Al-aktif membentuk senyawa P tidak tersedia pada pH rendah.
5.4.2.3. K2O Potensial
Nila kandungan K2O-Potensial
hasil analisis tergolong sangat rendah pada setiap SLH yang terbentuk pada
lokasi penelitian dan berkisar antara 0,04 – 1,32 mg/100g. Data hasil analisa K2O-Potensial
dapat dilihat pada tabel 11. Yang mana K2O-Potensial yang tertinggi
berada pada SLH 2 (1,32 mg/100g) dan terendah dengan jumlah 0,03
mg/100g (SLH 6). Rendahnya Kandungan
K2O pada lokasi penelitian ini dimungkinkan karena adanya proses genangan
sehingga terjadi pencucian oleh air. Sarwono Hardjowigeno, (2007) mengemukakan
hilangnya K dari tanah akibat pencucian oleh air hujan (leacing).
5.4.3. Kejenuhan Basa dan Salinitas/ Daya
Hantar Listrik (DHL)
Berikut ini merupakan data hasil analisa
laboratorium untuk parameter Kejenuhan Basa dan salinitas/ daya hantar listrik
(DHL).
Tabel 12. Kejenuhan Basa dan Salinitas/ Daya Hantar Listrik (DHL)
pada Daerah Penelitian
SLH
|
SATUAN LAHAN HOMOGEN
|
KB (%)
|
Nilai Tukar Kation
(me/100g)
|
DHL (mS.cm-1)
|
|||
K
|
Na
|
Ca
|
Mg
|
||||
1
|
Alluvial Bersulfat
1(SMA-1-a)/A
|
30,59 R
|
0,41
|
4,63
|
2,02
|
5,45
|
7,61 (Garam Sedang)
|
2
|
Alluvial Bersulfat-1
(SMA-1-b)/ A
|
146,66 ST
|
1,18
|
29,49
|
4,08
|
13,36
|
4,10 (Garam Sedang)
|
3
|
Alluvial Bersulfat-1
1(SMA-1-a)/B
|
343,44 ST
|
2,94
|
41,22
|
5,99
|
24,74
|
8.23 (Agak Tinggi)
|
4
|
Alluvial Bersulfat-1
(SMA-1-b)/ C
|
161,84 ST
|
1,11
|
20,71
|
2,82
|
9,45
|
4,21 (Garam Sedang)
|
5
|
Alluvial Bersulfat-1
(SMA-1-a)/C
|
54,98 T
|
0,43
|
7,38
|
1,05
|
0,41
|
4,39 (Garam Sedang)
|
6
|
Alufial Bersulfida Dangkal
Bergambut (G-0-a) /C
|
11,63 SR
|
0,22
|
0,44
|
0,92
|
1,60
|
4,29 (Garam Sedang)
|
7
|
Alufial Bersulfida Dangkal
Bergambut (G-0-b)/C
|
21,53 R
|
0,19
|
0,72
|
1,52
|
2,97
|
0,56 (Bebas Garam)
|
8
|
Gambut Dangkal
(G-1)/C
|
21,53 R
|
0,21
|
2,16
|
2,21
|
2,61
|
0,67 (Bebas Garam)
|
Sumber : Hasil
olahan 2011
Ket : SR = Sangat Rendah ST = Sangat Tinggi T = Tinggi R
= Rendah
5.4.3.1. Kejenuhan Basa
Hasil analisis laboratorium Kandungan Basa-Basa dapat ditukar (KB) pada
daerah penelitian sanat bervariasi yakni terdiri dari sangat rendah pada
SLH 6 (1,63%) , rendah pada SLH 1 (30,59%), SLH 7
(21,53%), SLH 8 (21,53) serta sangat tinggi pada SLH 2
(146,66%), SLH 3 (343,44%), SLH 4 (161,84%) dan tinggi
pada SLH 5(54,98%). Tinggi rendahnya kejenuhan basa pada lokasi
penelitian ini di diguga di akibatkan oleh keadaan pH tanah yang rendah. Rendahnya tingkat kejenuhan basa, dapat
dipengaruhi oleh tingkat kemasaman tanah yang tergolong masam (pH 4.8 – 5.5).
Tingkat kemasaman yang tinggi tersebut menyebabkan koloid tanah dijenuhi oleh
kation-kation asam seperti H dan Al dan kation, kation kation-kation basa
tergusur keluar komplek jerapan dan tercuci serta peningkatan ini disebabkan
adanya proses eluviasiikuviasi kation sepert Ca, Mg, K, Na ke horizon yang
lebih dalam atau peningkatan tersebut mungkin lebih banyak dipengaruhi oleh
resapan air asin (laut) (E.Dewiyuliana).
5.4.3.2. Salinitas/ Daya Hantar Listrik
(DHL)
Daya hantar Listrik (DHL) merupakan parameter yang dipakai untuk
menentukan tingkat salinitas. Hasil
analisis DHL di daerah penelitian selengkapnya disajikan pada Tabel 12.
Kadar salinitas pada lokasi
penelitian ini berkisar antara 0,56 mS.cm-1 – 8,2 mS.cm-1
dalam katergori bebas garam sampai dengan garam tinggi. Dapat dideskripsikan
bahwa SLH yang mempunyai kadar salin bebas garam adalah SLH 7 (0,56
mS.cm-1 ) dan SLH 8 ( 0,67 mS.cm-1). Hal ini
di duga karena pada SLH ini tidak lagi mendapat
pengaruh pasang urut air laut. Azwar Maas, (2004) yakni tingginya nilai
DHL dapat juga disebabkan oleh penyusupan air laut. Sedangkan yang tergolong garam
sedang terdapat pada SLH 1 (7,61 mS.cm-1),SLH 2 (4,10
mS.cm-1), SLH 4 (4,21 mS.cm-1), SLH 5 (4,39
mS.cm-1), SLH 6 (4,29 mS.cm-1).
Tingginya nilai DHL pada
daerah penelitian ini dimungkinkan karena tidaklah sangat jauh dari bibir
pantai dan masih mendapat pengaruh luapan pasang surut air laut serta merupakan
tempat pintu masuk dan keluarnya air dari laut maupan lahan. Kegaraman yang
tinggi menimbulkan keracunan tanaman, terutama ion Na + dan Cl
– serta lahan pasang surut dan lahan sulfat masam terutama yang mengalami
reklamasi umumnya mengandung kadar garam tinggi sebagai akibat dari luapan
pasang surut secara langsung atau
resapan ataupun penyusupan air laut (Muhammad Noor, 2004).
Berdasarkan
hasil penilaian sifat kimia pada lahan penelitian ditentukan status kesuburan
tanah yang disajikan pada Tabel 13 dan untuk gambaran sebasaran status
kesuburan tanah secara spasial dapat
telihat pada lampiran 18 (Peta Status Kesuburan Tanah).
Tabel
13. Status Kesuburan Kimia Tanah Daerah Penelitian
SLH
|
KTK
|
KB
|
P2O5
|
K2O
|
C-Organik
|
Status Kesuburan
|
1
|
40,89 T
|
30,59 R
|
28,23 T
|
0,40 SR
|
29,04 ST
|
Rendah
|
2
|
32,79 T
|
146,66 ST
|
21,57 S
|
0,04 SR
|
13,57 ST
|
Rendah
|
3
|
21,82 S
|
343,44 ST
|
14,55 R
|
0,08 SR
|
9,25 ST
|
Rendah
|
4
|
20,94 S
|
161,84 ST
|
35,22 ST
|
0.63 SR
|
11,70 ST
|
Rendah
|
5
|
16,86 R
|
54,98 T
|
25,02 S
|
0,03 SR
|
11,95 ST
|
Rendah
|
6
|
27,36 T
|
11,63 R
|
36,46 ST
|
0,21 SR
|
10,79 ST
|
Rendah
|
7
|
25,07 T
|
21,53 R
|
24,65 S
|
1,32 SR
|
36,73 ST
|
Rendah
|
8
|
18,12 T
|
21,53 R
|
22,82 S
|
0,08 SR
|
50,55 ST
|
Rendah
|
Sumber :
Hasil olahan 2011
Ket : SR = Sangat Rendah ST = Sangat Tinggi T
= Tinggi
R
= Rendah S
= Sedang
Berdasarkan
hasil kombinasi sifat kimia, daerah penelitian diasumsikan memiliki status
kesuburan kimia tanah yang RENDAH. Asumsi faktor penyebab rendahnya kesuburan
kimia tanah pada daerah penelitian ini diduga dikarenakan kemasaman tanah yang
relatif tinggi (pH rendah) sehingga mengakibatkan rendahnya ketersediaan unsur
hara bagi pertumbuhan tanaman. Masalah utama yang dihadapi dalam pengembangngan
lahan rawa pasang surut adalah kemasaman tanah yang tinggi, serta ketersediaan
unsur hara dalam tanah relatif rendah (Wayan Sudana, 2005).
Selain kemasaman tanah yang
relatif tinggi, faktor lain yang menyebabkan rendahnya status kesuburan pada
lahan penelitian ini diduga di karenakan adanya lapisan pirit yang sudah
teroksidasi oleh karena pembuatan saluran drainase serta terjadinya pengolahan
tanah yang berakibat kepada terjadinya penurunan pH tanah. Subagyo (2004),
mengemukakan akibat penurunan pH tanah di bawah pH 3,5 terjadi keracunan ion H+,
Al, SO42-, dan Fe-III, serta penurunan kesuburan tanah
alami rawa akibat hilangnya basa-basa tanah, sehingga tanah mengalami kahat P,
K, Ca dan Mg.
Pengaruh penggenangan yang
terjadi pada lahan penelitian juga diduga menjadi salah satu faktor penyebab
rendahnya kesuburan, hal ini diakibatkan oleh karena dengan adanya penggenangan
yang terjadi pada lahan mengakibatkan terjadinya pencucian unsur hara. Subagyo
(2004), akibat penggenangan selama musim hujan, terjadi peningkatan pH tanah,
dan penurunan konsentrasi Al. Namun, kemungkinan dapat terjadi keracunan ion
Fe-III, dan Mn karena konsentrasinya yang sangat tinggi dalam larutan tanah.
Kemungkinan juga tejadi keracunan H2s dan pencucian unsur basa Ca dan Mg yang
berakibat menurunkan kesuburan alamiah tanah rawa. Rendahnya status kesuburan
pada lahan pertanian penelitian ini kemungkinan juga di pengaruhi oleh
rendahnya kandungan K2O pada tanah yang di akibatkan oleh kemasaman
tanah yang tinggi.
KTK merupakan sifat kimia
tanah yang sangat erat hubungannya dengan kesuburan tanah, faktor lain yang
mengakibatkan rendahnya status kesuburan pada lokasi penenlitian adalah rendah
tingginya KTK namun rendah dalan kejenuhan basa sehingga dapat mengurangi
kesuburan. Tanah denga KTK tinggi bila didominasi oleh kation basa, Ca,Mg, K,
Na, KB tinggi dapat meningkatkan kesuburan tanah, tetapi bila didominasi oleh
kation asam, Al, H, KB rendah dapat mengurangi kesuburan tanah.
Kandungan C-organik
merupakan petunjuk besarnya akumulasi bahan organik. Pada lahan penelitian
kandungan C-Organik tegolong kedalam kriteria sangat tinggi. Faktor tersebut
juga merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan rendahnya status kesuburan
tanah. Akibat tinggi nya C-organik padalahan,akumulasi perombakan bahan organik
terhambat. Sehingga unsur hara yang ada pada bahan organik tidak terdekomposisi
secara keseluruhan sehingga tidak tersedia di dalam tanah. Untuk uraian masing-masing
morfologi SLH dapat dilihat pada lampiran 19.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1.
Kesimpulan
Dari hasil survei yang telah
dilaksanakan di daerah penelitian diperoleh beberapa kesimpulan sebagai
berikut.
1.
Daerah penelitian dapat diklasifikasikan menjadi 5
karakter tipologi lahan yaitu (1) Alluvial Bersulfida Dangkal Bergambut (G-0-a)
dengan luas 163 Ha, (2) Alluvial Bersulfida Dangkal Bergambut (G-0-b) dengan
luas 181 Ha, (3) Gambut Dangkal (G-1) dengan luas 169 Ha, (4) Alluvial
Bersulfat-1 (SMA-1-a) dengan luas 1833 Ha dan (5) Alluvial Bersulfat-1 (SMA-1-b)
dengan luas 111 Ha.
2.
Pada daerah penelitian, dapat klasifikasi tipe luapan
dalam tiga tipe luapan yaitu tipe luapan A, Tipe Luapan B serta Tipe Luapan C.
3.
Pada status kesuburan kimia tanah pada daerah
penelitian tiap SLH tergolong kepada kriteria RENDAH.
6.2. Saran
Berdasarkan pengamatan langsung di
lapangan pada daerah penelitian, ada beberapa saran untuk diterapkan di daerah
penelitian antara lain sebagai berikut :
1. Pemanfaatan dan pengelolaan lahan pada daerah
penelitian kiranya harus disesuaikan dengan keadan tipologi lahan dan tipe
luapan .
2. Pengelolaan sistem tata air dengan arah aliran satu
arah hendaknya dapat mensuplai air berkualitas baik ke seluruh lahan pertanian.
3. Sirkulasi pembuangan air dari lahan ke saluran
pembuangan kiranya di lakukan secara teratur, serta penjagaan pintu saluran
masuknya air laut kedalam lahan hendaknya mendapat perhatian yang lebih khusus
lagi.
4. Mengingat bahwa daerah penelitian tingkat kesuburan
kimia tanah yang rendah, hendaknya dalam pengelolaan tanah dalam pengembangan komoditi
pertanian perlu untuk menambahkan hara
pada tanah melaui penambahan amelioran dan pemupukan.
NB: Peta anda dapat melihat di FACEBOOK saya
NB: Peta anda dapat melihat di FACEBOOK saya