Kamis, 08 Maret 2012

STATUS KESUBURAN TANAH

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Karakteristik Pembentuk Tipologi Lahan
            Berikut ini merupakan penjabaran dari karakteristik pembentuk tipologi lahan (ketebalan gambut, kedalaman pirit dan tipe luapan) pada daerah penelitian.
5.1.1. Ketebalan Gambut
            Hasil survei di lapangan menunjukkan adanya perbedaan ketebalan gambut pada daerah penelitian, dalam penelitian ini ketebalan gambut dikelompokkan kedalam ketebalan  0-25 cm, 25-50 cm , 50-75 cm serta 75-100 cm sepeti pada Tabel 5.
Tabel 5. Ketebalan Gambut Daerah Penelitian
No
Ketebalan gambut (cm)
Luas (Ha)
1
0 – 25
2058
2
25 – 50
225
3
50 - 75
110
4
75-100
64
Jumlah
2457
                                                          Sumber : hasil olahan 2011
Berdasarkan hasil survei lapangan, pada daerah penelitian ketebalan gambut didominasi dengan ketebalan 0-25 cm dengan luasan 2058 Ha berada pada posisi terdekat dari bibir pantai, ketebalan 25-50 cm dengan luasan 225 Ha, ketebalan 50 -75 cm dengan luasan 110 Ha serta ketebalan 75 – 100 cm dengan luasan 64 Ha. Untuk sebaran ketebalan gambut secara spasial dapat dilihat pada lampiran 13 (Peta Kedalaman Gambut).
            Perbedaan ketebalan gambut menunjukkan terjadinya penurunan ketebalan gambut. Penurunan ketebalan gambut ini dipengaruhi oleh pengelolaan lahan yang tidak tepat seperti pembuatan jaringan drainase serta proses pengolahan lahan yang tidak tepat (pembakaran lahan dan penataan tinggi muka air yang tidak tepat) yang mengakibatkan proses penyusutan yang sangat cepat sehingga ketebalan gambut menjadi semakin tipis.
(Fahmuddin Agus dan I.G Made Subiksa, 2008), Volume gambut akan menyusut bila lahan gambut di drainase, sehingga  terjadi penurunan permukaan tanah (subsiden), selain karena penyusutan volume,  subsiden juga terjadi karena adanya proses dekomposisi dan erosi. Dalam 2 tahun  pertama setelah lahan gambut di drainase, laju subsiden bisa mencapai 50 cm.
5.1.2. Kedalaman Pirit
Hasil survei di lapangan pada daerah penelitian, kedalaman pirit cukup bervariasi, yang dikelompokkan mulai dari 0-25 cm, 25-50 cm, 50-75 cm serta 75-100 cm seperti pada tabel 6 .
Tabel 6. Kedalaman Pirit Daerah Penelitian
No
Kedalaman Pirit (cm)
Luas (Ha)
1
0 - 25
1292
2
25 – 50
991
3
50 – 75
110
4
75-100
64
Jumlah
2457




Sumber : Hasil Olahan 2011
Kedalaman pirit yang paling mendominasi daerah penelitian ini berada pada kedalaman 0-25 cm dengan luasan 1292 Ha, lahan tersebut merupakan lahan yang telah dikelola oleh petani setempat sebagai lahan pertanian. Pada kedalaman 25-50 cm dengan luasan 991 Ha juga merupakan bagian lahan pertanian yg sudah di kelola oleh masyarakat. Pada kedalaman pirit 50-75 cm dengan luasan lahan 110 cm, lahan tersebut belum dikelola oleh msyarakat setempat dan begitu juga dengan kedalaman 75-100 cm dengan luasan 64 Ha. Sebaran secara spasial kedalaman pirit pada daerah penelitian dapat dilihat pada lampiran 14 (Peta Kedalaman Pirit).
Terjadinya perbedaan kedalaman pirit pada deaerah penelitian ini di karenakan adanya membuatan jaringan irigasi sehingga terjadi pengeringan lahan serta pengolahan lahan yang mengakibatkan teroksidasinya pirit yang mengakibatkan rendahnya pH tanah sehingga berbahaya untuk pertumbuhan tanaman.
Tanah-tanah marin yang sudah dibuka untuk pertanian dan pemukiman telah mengalami pengeringan atau drainase berlebihan, biasanya sudah matang (ripe). Apabila pH-nya  sangat masam sekali (pH <3,5) dan banyak mengandung ion Sulfat Masam Aktual, (Subagyo H dan Widjaja Adhi, 1998). Subagyo H (2004), apabila lahan pasang surut direklamasi, yaitu dengan dibuatnya jaringan tata air makro berupa saluran-saluran primer,sekunder sampai tersier, lahan mengalami pengeringan, air tanah menjadi turun, maka lingkungan pirit menjadi terbuka (exposed) dan pirit menjadi tidak stabil karena bereaksi dengan udara.

5.1.3. Tipe Luapan
            Tipe luapan ini dibuat berdasarkan informasi petani dan petugas setempat serta pengukuran tinggi muka air saat survai. Pada daerah penelitian mempunyai  3 tipe luapan dengan sebaran tipe luapan secara spasial dapat dilihat pada lampiran 15 (Peta Tipe Luapan). Luasan lahan dengan  tipe luapannya dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Tipe Luapan Daerah Penelitian
No
Tipe Luapan
Luas (Ha)
1
A
1017
2
B
732
3
C
708
Jumlah
2457
Sumber : Hasil Olahan 2011
Tipe luapan A merupakan lahan rawa pasang surut yang relatif tergenang serta dipengaruhi oleh pasang surut harian dan selalu terluapi oleh pasang kecil maupun pasang besar. Pada daerah penelitian luas lahan dengan tipe luapan A seluas 1017 dan air pasang berpengaruh melalui aliran permukaan tanah dan lahan denga tipe luapan A ini dilalui oleh parit-parit (Parit 1,2,3,4,5,6 kanan dan kiri) yang menghubungkan lahan denga bibir pantai, sedangkan lahan dengan tipe luapan B merupakan daerah lahan yang tergenang dan berada pada bagian yang agak tinggi yang mana airnya dipengaruhi oleh pasang surut harian dan hanya terluapi oleh pasang besar. Hasil survei di lapangan diperoleh lahan dengan tipe luapan B dengan luas 732 Ha.
Tipe luapan C merupakan lahan rawa pasang surut yang tidak terluapi pasang kecil maupun pasang besar, namun saat pengamatan di lapangan lahan dengan tipe luapan C ini dalam keadaan tergenang. Tinggi muka air berada pada kedalaman < 50 cm yang sumber airnya lebih mengandalakan air hujan dengan luas  708 Ha.

5.2. Karakteristik Tipologi Lahan daerah Penelitian
            Berdasalkan hasil identifikasi kedalaman pirit dan ketebalan gambut di lapangan, daerah penelitian dapat dibagi menjadi 5 (Lima) karakter tipologi lahan yaitu : (1) Alluvial Bersulfida Dangkal Bergambut (G-0-a), (2) Alluvial Bersulfida Dangkal Bergambut (G-0-b), (3) Gambut Dangkal (G-1), (4) Alluvial Bersulfat-1 (SMA-1-a) dan (5) Alluvial Bersulfat-1 (SMA-1-b). Hasil identifikasi secara rinci terlihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Luasan dan Tipologi Lahan Daerah Penelitian
No
Tipologi lahan
Luas
Ha
%
1
Alluvial Bersulfida Dangkal Bergambut (G-0-a)
163
5,25
2
Alluvial Bersulfida Dangkal Bergambut (G-0-b)
181
5,83
3
Gambut Dangkal (G-1)
169
5,45
4
Alluvial Bersulfat-1 (SMA-1-a)
1833
59,07
5
Alluvial Bersulfat-1 (SMA-1-b)
111
3,58
Total
2457
100
Sumber : Hasil Olahan 2011
Dari hasil pengolahan data lapangan, tipologi lahan Alluvial Bersulfat-1 (SMA-1- a) merupakan tipologi lahan terluas yaitu sekitar 1833 Ha (59,07 %), dan yang terluas kedua adalah tipologi lahan Alluvial Bersulfida Dangkal Bergambut (G-0-b) dengan luas 181 Ha (5,83 %), terluas ke tiga dengan tipologi Gambut Dangkal (G-1), dengan luas 169 Ha (5.45%), ke empat Alluvial Bersulfida Dangkal Bergambut (G-0-a) dengan luas 163 Ha (5,25 %), diikuti oleh tipologi lahan terkecil Alluvial Bersulfat-1 (SMA-1-b), dengan luas 111 Ha (3,58 %). Sebaran tipologi lahan secara spasial dapat dilihat pada lampiran 16 (Peta Tipologi Lahan). Deskripsi masing-masing tipologi lahan dapat dijelaskan sebagai berikut :

5.2.1.Alluvial Bersulfida Dangkal Bergambut (G-0-a)
            Lahan Alluvial Bersulfida Dangkal Bergambut (G-0-a) pada lahan penelitian ini berupa lahan mineral yang mana diatasnya terdapat lapisan gambut dengan tingkat dekomposisis gambut Saprik dengan kedalaman rata-rata < 50 cm serta mengandung lapisan sulfidik pada kedalaman 0-35 cm dari permukaan tanah dan ber-drainase agak terhambat. Pada daerah penelitian, lahan alluvial bersulfida dangkal bergambut (G-0-a)  yang berada pada rawa belakang (back swamp)  pada lahan dengan tipe luapan C dengan kedalaman efektif 39 cm, tetapi keadaan lahan ini selalu dalam keadaan tergenang dengan pertumbuhan tanaman yang didominasi oleh pohon-pohon besar dan kecil dan belum dikelola masyarakat untuk lahan pertanian dan masih mempunyai potensi untuk di kembangkan menjadi lahan pertanian.
5.2.2.Alluvial Bersulfida Dangkal Bergambut (G-0-b)
            Lahan  Alluvial Bersulfida Dangkal Bergambut (G-0-b) adalah lahan berupa tanah mineral yang mengandung bahan sulfidik pada kedalaman 35-50 cm dari permukaan tanah dengan kedalaman gambut rata-rata < 50 cm, dan kadang memiliki lapisan bahan organik yang tipis. Pada daerah penelitian, lahan ini ditemukan pada daerah rawa belakang dengan tipe luapan C dengan pertumbuhan tanaman didominasi oleh pepohonan dan semak serta masih sedikit di kelola masyarakat dan masih berpotensi untuk di kembangkan menjadi lahn pertanian.

5.2.3.Gambut Dangkal (G-1)
            Lahan Gambut Dangkal (G-1) berupa lahan gambut yang mempunyai ketebalan gambut kurang dari 100 cm dari permukaan tanah dengan tingkat dekomposisisi saprik dengan mengandung bahan sulfidik pada 50-100 m. Lahan gambut dangkal (G-1) pada daerah peneitian ini ditemukan pada lahan dengan tipe luapan C di jumpai di rawa belakang (back swamp). Pertumbuhan tanaman, pepohonan, baik besar maupun kecil. Pada lahan ini cukub baik pertumbuhan tumbuhan dan belum di kelola masyarakat sebagai lahan pertanian dan di dominasi oleh semak, rumput rawa dan pepohonan.

5.2.4.Alluvial Bersulfat-1 (SMA-1-a)
            Lahan Alluvial Bersulfat-1 (SMA-1-a) pada penelitian ini merupakan tanah-tanah mineral yang mempunyai ketebalan lapisan sulfidik  0 – 35 cm dari permukaan tanah yang sudah mengalami oksidasi. Di daerah penelitian lahan ini ditemukan pada tipe luapan A, B dan C.  Pertumbuhan tanaman yang dijumpai pada tipologi lahan ini dalam keadaan kurang baik. (Muhammad Noor, 2004) mengemukakan, bahan sulfidik (pirit) merupakan hasil endapan marin yang terbentuk melalui serangkaian proses kimia, geokimia dan biokimia secara bertahap, dimana ion-ion sulfat yang banyak terkandung dalam air laut oleh ayunan pasang diendapkan pada dataran-dataran pantai dan sebagian menjorok memasuki minakat pasang surut, Namun tidak menutup kemungkinan terbentuknya lahan tersebut disebabkan pengolahan lahan yang salah akibat proses penggalian dan penimbunan dalam pembuatan parit atau saluran drainase. Tanaman yang mendominasi lahan ini merupakan tanaman nipah dan pepohonan kelapa dan kelapa sawit serta semak belukar dan rumput rawa.

5.2.5.Alluvial Bersulfat-1 (SMA-1-b)
            Pada penelitian ini tipologi lahan Lahan Alluvial Bersulfat-1 (SMA-1-b)  merupakan tanah-tanah mineral yang mempunyai ketebalan lapisan sulfidik  35 – 50 cm dari permukaan tanah. Berdasarkan informasi di lapangan pada kawasan ini masih mendapat pangaruh intrusi air laut yang diduga tanahnya masih berupa endapan marin akibat pengaruh pasang surut air laut dalam periode yang panjang. mempunyai horison sulfurik atau tanda-tanda horison sulfurik yang disebabkan teroksidasinya pirit, yang terjadi akibat drainase berlebihan.
Di daerah penelitian lahan ini ditemukan pada lahan dengan  tipe luapan A dan tipe luapan C dengan pertumbuhan tanaman yang dijumpai pada tipologi lahan ini dalam keadaan  kurang baik. Tamanam pertanian yang mendominasi pada lahan ini adalah tanaman kelapa, coklat dan pinang.

  5.3. Satuan Lahan Homogen
SLH (satuan lahan homogen) merupakan hasil Overlay Peta Tipologi Lahan dengan Peta Tipe Luapan. Dari hasil overlay kedua peta tersebut pada daerah penelitian diperoleh 8 SLH. Informasi Luas, Jumlah Boring dari tiap SLH terlihat pada Tabel 9. Sebaran Satuan Lahan Homogen secara spasial dapat dilihat pada lampiran 17 (Peta Satuan Lahan Homogen).
 Tabel 9. Informasi Tipologi Lahan, Tipe Luapan, SLH, Luas Serta Jumlah Boring.
No
Tipologi Lahan
Tipe Luapan
Nama SLH
No SLH
Luas (Ha)*
Jumlah boring
1
Alluvial Bersulvida Dangkal Bergambut (G-0-a)
C
Alufial Bersulfida Dangkal Bergambut
(G-0-a) /C
6
151
6
2
Alluvial Bersulvida Dangkal Bergambut (G-0-b)
C
Alufial Bersulfida Dangkal Bergambut
(G-0-b)/C
7
182
6
3
Gambur Dangkal
(G-1)
C
Gambut Dangkal
(G-1)/C
8
169
7
4

Alluvial Bersulfat-1
(SMA-1-a)
A
Alluvial Bersulfat 1
(SMA-1-a)/A
1
875
35
B
Alluvial Bersulfat-1 (SMA-1-a)/B
3
733
29
C
Alluvial Bersulfat-1
(SMA-1-a)/C
5
216
8
5
Alluvial Bersulfat-1
(SMA-1-b)
A
Alluvial Bersulfat-1
(SMA-1-b)/ A
2
79
4
C
Alluvial Bersulfat-1
(SMA-1-b)/ C
4
52
1
Total
8
2457
96
Sumber : Hasil Olahan 2011                             * Luas SLH


5.4. Analisis Kimia Tanah Daerah Penelitian
            Analisis kimia tanah di laboratorium diwakili oleh sampel tanah komposit dari setiap SLH. Karakteristik dari masing-masing sifat kimia tanah dapat dideskripsikan sebagai berikut :

5.4.1. Kemasaman Tanah, KTK, C-Organik.
            Data hasil analisa Kemasaman Tanah, KTK, C-Organik di laboratorium dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Kemasaman Tanah, KTK, C-Organik
SLH
SATUAN LAHAN HOMOGEN
pH
KTK
(me/100g)
C-Organik
(%)
1
Alluvial Bersulfat 1(SMA-1-a)/A
4,48 M
40,89  ST
29,04 ST
2
Alluvial Bersulfat-1
(SMA-1-b)/ A
4,70 M
32,79  T
13,57 ST
3
Alluvial Bersulfat-1
1(SMA-1-a)/B
5,29 M
15,32  S
9,25  ST
4
Alluvial Bersulfat-1
(SMA-1-b)/ C
4,85 M
20,94  S
11,70 ST
5
Alluvial Bersulfat-1
(SMA-1-a)/C
4,74 M
16,86 R
11,95 ST
6
Alufial Bersulfida Dangkal Bergambut (G-0-a) /C
4,72 M
27,36  T
10,79 ST
7
Alufial Bersulfida Dangkal Bergambut (G-0-b)/C
5,07 M
25,07  T
36,73  ST
8
Gambut Dangkal
(G-1)/C
4,62 M
18,12  S
50,55 ST
                                                                                    Sumber  : Hasil olahan 2011
Ket : M  = Masam                               ST = Sangat Tinggi              T = Tinggi
          R  =  Rendah                              S   =  Sedang

5.4.1.1. Kemasaman Tanah (pH)
Tingkat kemasaman (pH) tanah pada daerah penelitian tergolong sangat rendah (kemasaman tinggi) yakni pada  SLH 1 (4,48), SLH 2 (4,70), SLH 3 (5,29), SLH 5 (4,74), SLH 6 (4,72), SLH 7 (5,07), SLH 8 (4,62). Kemasaman tanah yang tinggi pada daerah penelitian diduga disebabkan oleh adanya oksidasi pirit akibat pembuatan saluran drainase (parit-parit) yang membelah lahan penelitian. Oksidasi pirit yang terjadi karena adanya penyusupan udara yang mengandung oksigen ke lapisan bawah tanah yang mengandung sulfidik.
(Muhammad Noor, 2004) menyatakan hal yang sama bahwa pH tanah menurun apabila diikuti proses oksidasi. Hal ini juga sebagian besar disebabkan oleh pengaruh drainase dan keadaan lokasi penelitian yang lebih sering tergenang. (Subagyo H, 2006) dalam kondisi tergenang, redoks potensial tanah menjadi lebih tinggi , dan pH tanah meningkat kembali, yang mengakibatkan konsentrasi ion H dan Al dalam lauran tanah menurun, atau kurang bersifat toksik, tetapi masalah-masalah baru muncul.

5.4.1.2. Kapasitas Tukar Kation (KTK)
Berdasarkan hasil analisa laboratorium, nilai KTK pada daerah penelitian sangat bervariasi mulai dari rendah  yakni pada SLH 5 (16,86 me/100g), sedang pada SLH 3 (15,32), SLH 4 (20,94 me/100g)dan SLH 8 (18,12 me/100g). KTK yg tinggi pada  SLH 2 (32,79 me/100g), SLH 6 (27,36 me/100g) dan SLH 7 (25,07 me/100g) serta sangat tinggi  pada SLH 1 (40,89 me/100g).
Pada daerah penelitian ini, tanah-tanah bergambut ( SLH 6 dan 7) memunyai KTK tinggi tetapi rendah dalam kejenuhan basa. Pada lahan penelitian ini, faktor tinggi tendah nya KTK sebagian besar dipengaruhi oleh sifat kemasaman tanah dan intrusi garam yang dapat meningkatkan KTK. (Fahmuddin Agus dan I.G Made Subiksa, 2008) Muatan negatif (yang menentukan KTK) pada tanah gambut seluruhnya adalah muatan tergantung pH (pH dependent charge), dimana KTK akan naik bila pH gambut ditingkatkan.

5.4.1.3. C-Organik
Nilai kandungan C-Organik pada daerah penelitian sangat  tinggi (9,25 % - 50,55 %) yaitu pada SLH 1 sampai dengan SLH 8. Tingginya kandungan C-Organik pada daerah penelitian ini diduga disebabkan oleh vegetasi yang mendominasi lahan dengan sisitem pengairan yang selalu dalam keadaan tergenang sehingga terjadi penumpukan bahan organik yang tidak terlapuk.
Penimbunan bahan organik yang tinggi ini merupakan  hasil produksi mangrove (termasuk semak dan rumput rawa) yang terbentuk akibat pengaruh luapan pasang dengan periode yang panjang  dan didukung oleh curah hujan yang tinggi, pengatusan yang jelek dan topografi yang cekung, (Muhammad Noor, 2004).
  
5.4.2. Kandungan N-Total, P2O5 tersedia, dan K2O Potensial.
            Dari hasil analisis laboratorium untuk Kandungan N-Total, P2O5 tersedia, dan K2O Potensial pada lahan penelitian disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11. Kandungan N-Total, P2O5 tersedia, dan K2O Potensial pada daerah penelitia.
SLH
SATUAN LAHAN HOMOGEN
N-Total
(%)
P2O5
(ppm)
K2O
(mg/100g)
1
Alluvial Bersulfat 1(SMA-1-a)/A
0,27  R
28,23 T
0,40 SR
2
Alluvial Bersulfat-1
(SMA-1-b)/ A
0,22  R
21,57 S
0,04 SR
3
Alluvial Bersulfat-1
1(SMA-1-a)/B
0,13  R
14,55 R
0,08 SR
4
Alluvial Bersulfat-1
(SMA-1-b)/ C
0,10  R
35,22 ST
0.63 SR
5
Alluvial Bersulfat-1
(SMA-1-a)/C
0,15  R
25,02 S
0,03SR
6
Alufial Bersulfida Dangkal Bergambut (G-0-a) /C
0,15 R
36,46 ST
0,21 SR
7
Alufial Bersulfida Dangkal Bergambut (G-0-b)/C
0,21  R
24,65 S
1,32 SR
8
Gambut Dangkal
(G-1)/C
0,17 R
22,82 S
0,08 SR
                                                                                    Sumber  : Hasil olahan 2011
Ket : SR = Sangat Rendah                 ST = Sangat Tinggi              T = Tinggi
          R  =  Rendah                              S   =  Sedang


5.4.2.1. Kandungan N-Total
            Kandungan N total pada tanah tersebut tidak menjamin ketersediaan Nitrogen yang cukup bagi tanaman karena umumnya nitrogen terikat sebagai senyawa organik komplek yang membentuk humus. Nilai kandungan N-Total tergolong rendah pada semua SLH, yaitu SLH 1 (0,27%), SLH 2 (0,22%), SLH 3 (0,13%), SLH 4 (0,10%), SLH 5 (0,15%), SLH 6 (0,15%), SLH 7 (0,21%), SLH 8 (0,17%). Berdasarkan tabel nilai kandungan N-Total yang kelihatan mencolok ada pada 3 SLH yaitu : SLH 1, SLH 2, SLH 7. Sesuai dengan pengamatan di lapangan pada umumnya lahan ini di gunakan oleh penduduk setempat sebagai lahan untuk tanaman kelapa, dan lahan tersebut lebih sering tergenang yang mengakibatkan rendahnya kandungan N pada tanah.
            Sarwono Hardhowigeno (207), mengemukakan bahwa hilangnya N dari tanah karena digunakan oleh tanaman dan mudah dicuci oleh air hujan dan terjadi Denitrifikasi oleh karena tempat tergenang dan drainase buruk.

 5.4.2.2. P2O5 tersedia
Nilai kandungan P2O5 pada daerah penelitian bervariasi antara  sangat tinggi, tinggi, sedang dan rendah. Kandungan P2O5 tergolong sangat tinggi pada lahan penelitian terdapat pada SLH 4 (35,22 ppm),  dan SLH 6 (36,46 ppm) sedangkan yang tergolong tinggi terdapat pada SLH  1 (28,23 ppm), dan yang tergolong sedang terdapat pada SLH  2 (21,57 ppm), SLH 5 (25,02 ppm), SLH  7 (24,65 ppm), SLH 8 (22,82 ppm). Untuk kandungan P2O5 yang tergolong rendah terdapat pada SLH  3 (14,55 ppm).
Nilai kandungan P2O5 yang bervariasi pada lahan penelitian diduga di sebabkan oleh rendahnya bahan pembentuk tanah serta rendahnya pH (kemasaman kinggi). Juga diduga terjadi pengangkutan unsur P oleh tanaman yang diusahakan secara intensif dan tanpa dilakukan pemupukan P yang tepat. (Muhammad Noor, 2004) menyatakan bahwa pada tanah sulfat masam unsur P dari P2O5 akan diikat kuat oleh Al-aktif membentuk senyawa P tidak tersedia pada pH rendah.

5.4.2.3. K2O Potensial
Nila kandungan K2O-Potensial hasil analisis tergolong sangat rendah pada setiap SLH yang terbentuk pada lokasi penelitian dan berkisar antara 0,04 – 1,32 mg/100g. Data hasil analisa K2O-Potensial dapat dilihat pada tabel 11. Yang mana K2O-Potensial yang tertinggi berada pada SLH 2 (1,32 mg/100g) dan terendah dengan jumlah 0,03 mg/100g (SLH 6).  Rendahnya Kandungan K2O pada lokasi penelitian ini dimungkinkan karena adanya proses genangan sehingga terjadi pencucian oleh air. Sarwono Hardjowigeno, (2007) mengemukakan hilangnya K dari tanah akibat pencucian oleh air hujan (leacing).
   
5.4.3. Kejenuhan Basa dan Salinitas/ Daya Hantar Listrik (DHL)
            Berikut ini merupakan data hasil analisa laboratorium untuk parameter Kejenuhan Basa dan salinitas/ daya hantar listrik (DHL).
Tabel 12. Kejenuhan Basa dan Salinitas/ Daya Hantar Listrik (DHL) pada Daerah Penelitian
SLH
SATUAN LAHAN HOMOGEN
KB (%)
Nilai Tukar Kation
(me/100g)
DHL (mS.cm-1)
K
Na
Ca
Mg
1
Alluvial Bersulfat 1(SMA-1-a)/A
30,59 R
0,41
4,63
2,02
5,45
7,61 (Garam Sedang)
2
Alluvial Bersulfat-1
(SMA-1-b)/ A
146,66 ST
1,18
29,49
4,08
13,36
4,10 (Garam Sedang)
3
Alluvial Bersulfat-1
1(SMA-1-a)/B
343,44 ST
2,94
41,22
5,99
24,74
8.23 (Agak Tinggi)
4
Alluvial Bersulfat-1
(SMA-1-b)/ C
161,84 ST
1,11
20,71
2,82
9,45
4,21 (Garam Sedang)
5
Alluvial Bersulfat-1
(SMA-1-a)/C
54,98 T
0,43
7,38
1,05
0,41
4,39 (Garam Sedang)
6
Alufial Bersulfida Dangkal Bergambut (G-0-a) /C
11,63 SR
0,22
0,44
0,92
1,60
4,29 (Garam Sedang)
7
Alufial Bersulfida Dangkal Bergambut (G-0-b)/C
21,53 R
0,19
0,72
1,52
2,97
0,56 (Bebas Garam)
8
Gambut Dangkal
(G-1)/C
21,53 R
0,21
2,16
2,21
2,61
0,67 (Bebas Garam)
                                                                        Sumber  : Hasil olahan 2011
Ket : SR = Sangat Rendah      ST = Sangat Tinggi         T = Tinggi     R  =  Rendah  
              
5.4.3.1. Kejenuhan Basa
Hasil analisis laboratorium Kandungan Basa-Basa dapat ditukar (KB) pada daerah penelitian sanat bervariasi yakni terdiri dari sangat rendah pada SLH 6 (1,63%) , rendah pada SLH 1 (30,59%), SLH 7 (21,53%), SLH 8 (21,53) serta sangat tinggi pada SLH 2 (146,66%), SLH 3 (343,44%), SLH 4 (161,84%) dan tinggi pada SLH 5(54,98%). Tinggi rendahnya kejenuhan basa pada lokasi penelitian ini di diguga di akibatkan oleh keadaan pH tanah yang rendah. Rendahnya tingkat kejenuhan basa, dapat dipengaruhi oleh tingkat kemasaman tanah yang tergolong masam (pH 4.8 – 5.5). Tingkat kemasaman yang tinggi tersebut menyebabkan koloid tanah dijenuhi oleh kation-kation asam seperti H dan Al dan kation, kation kation-kation basa tergusur keluar komplek jerapan dan tercuci serta peningkatan ini disebabkan adanya proses eluviasiikuviasi kation sepert Ca, Mg, K, Na ke horizon yang lebih dalam atau peningkatan tersebut mungkin lebih banyak dipengaruhi oleh resapan air asin (laut) (E.Dewiyuliana).

5.4.3.2. Salinitas/ Daya Hantar Listrik (DHL)
Daya hantar Listrik (DHL) merupakan parameter yang dipakai untuk menentukan  tingkat salinitas. Hasil analisis DHL di daerah penelitian selengkapnya disajikan pada Tabel 12.
Kadar salinitas pada lokasi penelitian ini berkisar antara 0,56 mS.cm-1 – 8,2 mS.cm-1 dalam katergori bebas garam sampai dengan garam tinggi. Dapat dideskripsikan bahwa SLH yang mempunyai kadar salin bebas garam adalah SLH 7 (0,56 mS.cm-1 ) dan SLH 8 ( 0,67 mS.cm-1). Hal ini di duga karena pada SLH ini tidak lagi mendapat  pengaruh pasang urut air laut. Azwar Maas, (2004) yakni tingginya nilai DHL dapat juga disebabkan oleh penyusupan air laut. Sedangkan yang tergolong garam sedang terdapat pada SLH 1 (7,61 mS.cm-1),SLH 2 (4,10 mS.cm-1), SLH 4 (4,21 mS.cm-1), SLH 5 (4,39 mS.cm-1), SLH 6 (4,29 mS.cm-1).
Tingginya nilai DHL pada daerah penelitian ini dimungkinkan karena tidaklah sangat jauh dari bibir pantai dan masih mendapat pengaruh luapan pasang surut air laut serta merupakan tempat pintu masuk dan keluarnya air dari laut maupan lahan. Kegaraman yang tinggi menimbulkan keracunan tanaman, terutama ion Na + dan Clserta lahan pasang surut dan lahan sulfat masam terutama yang mengalami reklamasi umumnya mengandung kadar garam tinggi sebagai akibat dari luapan pasang surut  secara langsung atau resapan ataupun penyusupan air laut  (Muhammad Noor, 2004).

5.5. Status Kesuburan Kimia Tanah Daerah Penelitian.
            Berdasarkan hasil penilaian sifat kimia pada lahan penelitian ditentukan status kesuburan tanah yang disajikan pada Tabel 13 dan untuk gambaran sebasaran status kesuburan tanah  secara spasial dapat telihat pada lampiran 18 (Peta Status Kesuburan Tanah).
            Tabel 13. Status Kesuburan Kimia Tanah Daerah Penelitian
SLH
KTK
KB
P2O5
K2O
C-Organik
Status Kesuburan
1
40,89 T
30,59 R
28,23 T
0,40 SR
29,04 ST
Rendah
2
32,79 T
146,66 ST
21,57 S
0,04 SR
13,57 ST
Rendah
3
21,82 S
343,44 ST
14,55 R
0,08 SR
9,25 ST
Rendah
4
20,94 S
161,84 ST
35,22 ST
0.63 SR
11,70 ST
Rendah
5
16,86 R
54,98 T
25,02 S
0,03 SR
11,95 ST
Rendah
6
27,36 T
11,63 R
36,46 ST
0,21 SR
10,79 ST
Rendah
7
25,07 T
21,53 R
24,65 S
1,32 SR
36,73 ST
Rendah
8
18,12 T
21,53 R
22,82 S
0,08 SR
50,55 ST
Rendah
Sumber  : Hasil olahan 2011
Ket : SR = Sangat Rendah                 ST = Sangat Tinggi              T = Tinggi
          R  =  Rendah                              S   =  Sedang
            Berdasarkan hasil kombinasi sifat kimia, daerah penelitian diasumsikan memiliki status kesuburan kimia tanah yang RENDAH. Asumsi faktor penyebab rendahnya kesuburan kimia tanah pada daerah penelitian ini diduga dikarenakan kemasaman tanah yang relatif tinggi (pH rendah) sehingga mengakibatkan rendahnya ketersediaan unsur hara bagi pertumbuhan tanaman. Masalah utama yang dihadapi dalam pengembangngan lahan rawa pasang surut adalah kemasaman tanah yang tinggi, serta ketersediaan unsur hara dalam tanah relatif rendah (Wayan Sudana, 2005).
Selain kemasaman tanah yang relatif tinggi, faktor lain yang menyebabkan rendahnya status kesuburan pada lahan penelitian ini diduga di karenakan adanya lapisan pirit yang sudah teroksidasi oleh karena pembuatan saluran drainase serta terjadinya pengolahan tanah yang berakibat kepada terjadinya penurunan pH tanah. Subagyo (2004), mengemukakan akibat penurunan pH tanah di bawah pH 3,5 terjadi keracunan ion H+, Al, SO42-, dan Fe-III, serta penurunan kesuburan tanah alami rawa akibat hilangnya basa-basa tanah, sehingga tanah mengalami kahat P, K, Ca dan Mg.
Pengaruh penggenangan yang terjadi pada lahan penelitian juga diduga menjadi salah satu faktor penyebab rendahnya kesuburan, hal ini diakibatkan oleh karena dengan adanya penggenangan yang terjadi pada lahan mengakibatkan terjadinya pencucian unsur hara. Subagyo (2004), akibat penggenangan selama musim hujan, terjadi peningkatan pH tanah, dan penurunan konsentrasi Al. Namun, kemungkinan dapat terjadi keracunan ion Fe-III, dan Mn karena konsentrasinya yang sangat tinggi dalam larutan tanah. Kemungkinan juga tejadi keracunan H2s dan pencucian unsur basa Ca dan Mg yang berakibat menurunkan kesuburan alamiah tanah rawa. Rendahnya status kesuburan pada lahan pertanian penelitian ini kemungkinan juga di pengaruhi oleh rendahnya kandungan K2O pada tanah yang di akibatkan oleh kemasaman tanah yang tinggi.
KTK merupakan sifat kimia tanah yang sangat erat hubungannya dengan kesuburan tanah, faktor lain yang mengakibatkan rendahnya status kesuburan pada lokasi penenlitian adalah rendah tingginya KTK namun rendah dalan kejenuhan basa sehingga dapat mengurangi kesuburan. Tanah denga KTK tinggi bila didominasi oleh kation basa, Ca,Mg, K, Na, KB tinggi dapat meningkatkan kesuburan tanah, tetapi bila didominasi oleh kation asam, Al, H, KB rendah dapat mengurangi kesuburan tanah.
Kandungan C-organik merupakan petunjuk besarnya akumulasi bahan organik. Pada lahan penelitian kandungan C-Organik tegolong kedalam kriteria sangat tinggi. Faktor tersebut juga merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan rendahnya status kesuburan tanah. Akibat tinggi nya C-organik padalahan,akumulasi perombakan bahan organik terhambat. Sehingga unsur hara yang ada pada bahan organik tidak terdekomposisi secara keseluruhan sehingga tidak tersedia di dalam tanah. Untuk uraian masing-masing morfologi SLH dapat dilihat pada lampiran 19.


VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan
            Dari hasil survei yang telah dilaksanakan di daerah penelitian diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut.
1.      Daerah penelitian dapat diklasifikasikan menjadi 5 karakter tipologi lahan yaitu (1) Alluvial Bersulfida Dangkal Bergambut (G-0-a) dengan luas 163 Ha, (2) Alluvial Bersulfida Dangkal Bergambut (G-0-b) dengan luas 181 Ha, (3) Gambut Dangkal (G-1) dengan luas 169 Ha, (4) Alluvial Bersulfat-1 (SMA-1-a) dengan luas 1833 Ha dan (5) Alluvial Bersulfat-1 (SMA-1-b) dengan luas 111 Ha.
2.      Pada daerah penelitian, dapat klasifikasi tipe luapan dalam tiga tipe luapan yaitu tipe luapan A, Tipe Luapan B serta Tipe Luapan C.
3.      Pada status kesuburan kimia tanah pada daerah penelitian tiap SLH tergolong kepada kriteria RENDAH.

6.2. Saran
            Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan pada daerah penelitian, ada beberapa saran untuk diterapkan di daerah penelitian antara lain sebagai berikut :
1.  Pemanfaatan dan pengelolaan lahan pada daerah penelitian kiranya harus disesuaikan dengan keadan tipologi lahan dan tipe luapan .
2.  Pengelolaan sistem tata air dengan arah aliran satu arah hendaknya dapat mensuplai air berkualitas baik  ke seluruh lahan pertanian.
3.  Sirkulasi pembuangan air dari lahan ke saluran pembuangan kiranya di lakukan secara teratur, serta penjagaan pintu saluran masuknya air laut kedalam lahan hendaknya mendapat perhatian yang lebih khusus lagi.
4.  Mengingat bahwa daerah penelitian tingkat kesuburan kimia tanah yang rendah, hendaknya dalam pengelolaan tanah dalam pengembangan komoditi pertanian  perlu untuk menambahkan hara pada tanah melaui penambahan amelioran dan pemupukan.

NB: Peta anda dapat melihat di FACEBOOK saya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar